RIDWAN DARMAWAN |
Semarak Pilkada Serentak 2020 memang menunjukkan tensi yang menurun akhir-akhir ini di tengah pelaksanaan pilkada serentak yang dihimpit oleh pandemi covid-19, hingar bingar pilkada serentak yang biasanya menyedot perhatian publik nasional meski tidak disemua wilayah melaksanakan agenda pilkada serentak, namun karena pilkada serentak menjadi agenda strategis nasional, hari-hari ini perhatian publik tersedot pada rentetan peristiwa kepulangan HRS dari perantauannya di negeri nun jauh disana, pengerahan massa penyambutan yang menghebohkan, peringatan maulid Nabi yang menggegerkan, perhelatan resepsi pernikahan yang mengorbankan 2 pejabat Polda dan 2 Kapolres, serta berbuntut panjang dengan di panggilnya Gubernur Anies Baswedan serta ramainya medsos dengan perseteruan artis seksi Nikita Mirzani dengan MA, Tak pelak beberapa saat publik terinterupsi pengalihan perhatiannya dari gelaran pilkada serentak yang memang kurang gereget karena situasi pandemik, mobilisasi menjadi kurang, protokol kesehatan ketat dan kampanye daring menjadi solusi ditengah pamdemi.
Namun siapa sangka, ditengah situasi demikian, ada kabar menarik yang berhembus, ditengah muramnya penegakkan hukum dan konstitusi dalam proses akhir penyelesaian sengketa pilkada dan juga sekaligus akhir dari tahapan pemilukada, dimana pasca lahirnya UU No. 10 Tahun 2016 tentang pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota yang menerapkan ambang batas selisih perselisihan sengketa melalui pasal 158 menjadi akhir dari era term "keadilan substantif", Term "kejahatan TSM (Terstruktur, Sistematis dan Massif)" yang menjadi trade mark MK selama era sebelum 2015 mengemuka dan menjadi dambaan para kontestan pemilukada, hingga kemudian hiruk-pikuk penyelesaian pemilukada di Mahkamah Konstitusi menjadi kaku dan tidak menarik lagi karena MK keukeuh dan berdalih pada saat itu bahwa MK menjadi pelaksana Undang-undang, yakni pasal 158 yang menjadi momok, hingga kemudian keluar lah istilah "MK = Mahkamah Kalkulator", bahkan lebih jauh berbagai kalangan menyebut MK telah meninggalkan karakter utamanya yakni menjadi The Guardian of Constitution yang selama ini menjadi trademarknya.
Dalam beberapa kesempatan akhir-akhir ini, kabar baiknya Mahkamah Konstitusi mulai tahun ini, akan kembali menggali sebuah perkara sengketa pemilukada melalui penggalian keadilan substantif, dimana posisi pasal 158 akan tetap dipakai dan dipedomani MK, akan tetapi karena pasal tersebut sudah masuk pada materi pokok perkara, maka MK akan menilai terlebih dahulu apakah penerapan terhadap pasal 158 tersebut bisa di terapkan kepada perkara sengketa pilkada setelah melewati pemeriksaan perkara yang betul-betul bahwa angka yang dihasilkan tersebut benar-benar telah melalui prosedur dan sesuai peraturan perundang-undangan dan tidak dihasilkan melalui cara-cara yang melanggar aturan, melalui Peraturan Mahkamah Konstitusi (PMK Nomor 6 Tahun 2020) Mahkamah memberikan peluang kepada para kontestan untuk bertarung secara fair dan luber hingga ke babak akhir nanti di MK.
Ridwan Darmawan, Advokat yang sudah terbiasa beracara di Mahkamah Konstitusi, baik perkara Perselisihan Hasil Pemilihan Umum maupun Pengujian Undang-Undang menyambut baik kabar tersebut, ridwan menyatakan dengan ketentuan terbaru tersebut, yakni PMK No. 6 Tahun 2020 tentang Tata Beracara Perselisihan Hasil Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota, maka Mahkamah Konstitusi telah kembali kepada khittahnya yakni the guardian of Constitution, MK tidak lagi sebatas pelakasana undang-undang sebagaimana tercermin dari sikap MK sebelumnya di dalam putusan-putusan perkara PHPU sejak tahun 2015.
"Apresiasi bagi Mahkamah Konstitusi atas kembalinya khittah MK, perhelatan gelaran penyelesaian sengketa pilkada serentak tahun ini pasti lebih menarik dari tahun sebelumnya, para calon kepala daerah harus memanfaatkan peluang ini", beber Ridwan.
PMK 6 tahun 2020 tidak lagi mencantumkan keharusan atau syarat formal pengajuan permohonan sengketa mengacu pada pasal 158 UU Nomor 10 Tahun 2016, hal ini berbeda dengan misalnya PMK Nomor 1 Tahun 2017 tentang Tata Beracara dalam Perselisihan Hasil Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota yang mencantumkan keharusan tersebut terdapat dalam pasal 7, ini menandakan bahwa MK betul-betul tidak lagi mendasarkan pemaknaan Pasal 158 UU 10 tahun 2016 sebagai syarat formil permohonan. Lanjut Ridwan yang tergabung dalam kantor hukum MMB & Partner.
Seperti diketahui, berdasarkan laman mkri.id Mahkamah Konstitusi melalui Hakim konstitusi Aswanto menjelaskan dalam acara bimtek penanganan sengketa pilkada di pusdiklat MK di bogor menyatakan bahwa penerapan Pasal 158 UU No. 10 Tahun 2016 tidak lagi berlaku mutlak sebagai pedoman penentuan gugur tidaknya permohonan PHPU, artinya bahwa dari dinamika penanganan sengketa perselisihan hasil pilkada beberapa tahun terakhir, pro kontra serta perbedaan pemaknaan pasal 158 oleh para advokat yang sama tetapi dalam posisi yang berbeda, jika sebagai kuasa hukum paslon yang menjadi pemohon, sikapnya tentu pertahankan pasal 158, tetapi jika posisinya sebagai kuasa Termohon atau pihak terkait maka sikapnya abaikan pasal 158, ini tentu harus dicari terobosannya, MK memandang bahwa ketentuan pasal 158 tersebut sudah menjadi materi pokok perkara, oleh karenanya MK tidak akan menentukan gugur tidaknya permohonan diawal penanganan perkara, tetapi akan diputuskan diakhir setelah memeriksa pokok perkara.
Layak kita tunggu kelanjutan kronik penanganan sengketa pilkada serentak 2020 ini bersama-sama.
0 Post a Comment/Comments:
Posting Komentar