"Kami minta pemangku kepentingan, DLH Pemkab Lampung Selatan, Camat dan jajaran kepolisian menutup sementara tambang pasir diduga milik Hartono Cs di Desa Bangun Sari tanpa ijin, AMDAL dilakukan secara illegal dan merusak lingkungan,"kata M Andre Wahyudi, kemarin
Selain itu, ELSAM mendesak para pelaku penambangan pasir Hartono Cs diproses hukum dan dilakukan pembinaan ketat, termasuk aparatur desa nya.
Diberitakan sebelumnya, Kerusakan Daerah Aliran Sungai (DAS) disebabkan Penambangan pasir di Kecamatan Tanjung Sari khususnya Desa Bangun Sari Lampung Selatan diduga milik Ponujo dan Hartono terindikasi dibekingi pejabat. Aroma pelanggaran hukum lingkungan diduga berlangsung puluhan tahun dengan modus penyedotan pasir sungai di Dusun 3 Desa Bangun Sari,Tanjung Sari Lampung Selatan tak tersentuh hukum.
Ironinya, tambang pasir diduga milik Ponujo dan Hartono sangat jelas, diketahui oleh Kepala Desa Bangun Sari dan mungkin Camat setempat juga tahu. Bagaimana dengan intitusi kepolisian sektor ? Hasil pantauan jurnalis, 29 oktober 2020, pasir sungai disedot dengan mesin dan ditampung disisi atas sungai, dilokasi ini kendaraan pengangkut pasir telah siap mendistribusikannya. Pelaku penambangan tak resmi di Desa Bangun Sari Lampung Selatan diancam kurungan badan 5 tahun atau denda 100 miliar rupiah. Terkait hal ini, pemangku kepentingan dalam tahap konfirmasi.
Terkait hal ini, Pakar Hukum dari Universitas Mitra Indonesia, Tahura malagano,SH,MH menegaskan Seseorang tidak bisa mengelak dari jeratan hukum dengan berdalih belum atau tidak mengetahui adanya hukum dan peraturan perundang-undangan tertentu."Setiap aparat pemerintah berkewajiban menyampaikan adanya hukum atau peraturan tertentu kepada masyarakat. Kalau warga yang tak melek hukum lantas diseret ke pengadilan padahal ia benar-benar tak tahu hukum, aparat penyelenggara negara juga mestinya ikut merasa bersalah,"katanya kemarin
Pakar Hukum Umitra, Tahura Malagano,SH,MH menjelaskan Terminologi bahan galian golongan C yang sebelumnya diatur dalam Undang-undang Nomor 11 Tahun 1967 telah diubah berdasarkan UU Nomer 4 Tahun 2009, menjadi batuan, sehingga penggunaan istilah bahan galian golongan C sudah tidak tepat lagi. Dalam pasal 35 UU Nomor 4 Tahun 2009 disebutkan bahwa Usaha pertambangan dilaksanakan dengan Izin Usaha Pertambangan (IUP), Izin Pertambangan Rakyat (IPR) dan Izin Usaha Pertambangan Khusu (IUPK).
Ketentuan pasal 35 direvisi dalam UU Nomor 3 Tahun 2020 menjadi Usaha Pertambangan dilaksanakan berdasarkan Perizinan Berusaha dari Pemerintah Pusat yang dilaksanakan melalui pemberian ; nomor induk berusaha, sertifikat standar; dan/ atau izin. Pemerintah Pusat dapat mendelegasikan kewenangan pemberian Perizinan Berusaha kepada Pemerintah Daerah Propinsi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Izin tersebut dapat diberikan kepada Badan Usaha, Koperasi dan Perseorangan.
Bagaimana dengan sanksi pidana pelaku Pertambangan Batuan secara Illegal, dalam arti melakukan usaha penambangan tanpa IUP, IPR dan/ atau IUPK? Dalam Bab XIII pasal 158 UU Nomor 4 Tahun 2009 tentang ketentuan pidana pelaku tindak pidana penambangan tanpa IUP, IPR dan’ atau IUPK dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah).
Ketentuan pasal 158 diubah dalam UU Nomor 3 Tahun 2020 menjadi Setiap orang yang melakukan Penambangan tanpa izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 dipidana dengan dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp100.000.000.000,00 (seratus miliar rupiah). Ketentuan pidana pasal 158 ini sudah berlaku sejak 10 Juni 2020, pungkas Tahura Malagano,SH,NH, Pakar Hukum dari Univeristas Mitra Indonesia
Editor : Pulung Kencano
0 Post a Comment/Comments:
Posting Komentar