Singgih Atmojo Sekretaris DPD BIN Provinsi Lampung |
BANDARLAMPUNG - Ditresnarkoba Polda Lampung menangkap sebanyak enam orang di Perumahan Gunung Madu Kluster 1 Nomor 59, Tanjung Senang, Bandar Lampung, Jumat, 13/9/2019, sekitar pukul 01.30. Salah satu dari enam orang itu adalah Khairul Bakti, eks Wakil Ketua DPRD Bandar Lampung. Lima orang lagi, Rio Wijaya, Renold Manurung, Ananda Miko, Dwi Prasetya Andika, dan Dhea Aulia Putri.
“Dari para tersangka ditemukan sejumlah barang bukti yang langsung kami amankan untuk kepentingan penyelidikan,” kata Kabid Humas Polda Lampung Komisaris Besar Zahwani Pandra kepada duajurai.co di ruang kerjanya.
Adapun barang bukti yang disita polisi, antara lain satu pucuk senjata api (senpi) jenis FN Nomor T 12510752 H berikut magazine, dan 22 butir amunisi kaliber 32. Kemudian, dua bungkus plastik klip bening berisi sabu-sabu, serta dua bungkus plastik klip bening bekas pakai sabu.
“Terdapat juga perangkat yang digunakan untuk mengonsumsi sabu-sabu, yaitu bong penghisap,” ujarnya.
Zahwani menambahkan, saat ini, para tersangka berada di Ditresnarkoba Polda Lampung. Mereka akan diperiksa lebih lanjut ihwal kasus tersebut. Tak hanya tersangka, barang bukti dalam perkara itu juga dibawa ke Ditresnarkoba.
“Sudah diserahkan kepada penyidik untuk dilakukan assesment. Tiga hari pertama ini untuk melihat apakah mereka sebagai pengguna atau pengedar,” kata dia.
Sebenarnya bagaimana hukuman untuk pecandu Narkotika? Apakah harus masuk dalam bui atau melakukan rehabilitasi?
Menurut hukum yang berlaku di Indonesia, pecandu narkotika dan korban penyalahgunaan narkotika wajib menjalani rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial.
Hal ini diperjelas dalam Pasal 3 ayat (1) Peraturan Kepala Badan Narkotika Nasional Nomor 11 Tahun 2014 tentang Tata Cara Penanganan Tersangka dan/atau Terdakwa Pecandu Narkotika dan Korban Penyalahgunaan Narkotika ke Dalam Lembaga Rehabilitasi (Peraturan BNN 11/2014).
Dalam aturan tersebut, mengatur bahwa pecandu narkotika dan korban penyalahgunaan narkotika yang tanpa hak dan melawan hukum sebagai tersangka dan atau terdakwa dalam penyalahgunaan narkotika yang sedang menjalani proses penyidikan, penuntutan, dan persidangan di pengadilan diberikan pengobatan, perawatan dan pemulihan dalam lembaga rehabilitasi.
Jika merujuk pada Undang-undang No. 35 tahun 2009 tentang Narkotika dan Peraturan Pemerintah No. 25 tahun 2011 tentang Pelaksanaan Wajib Lapor Pecandu Narkotika, maka pecandu/pengguna serta korban penyalahgunaan narkotika wajib menjalani rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial.
Hal itu dipertegas dan diatur lebih rinci dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 2011 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 2011 Tentang Pelaksanaan Wajib Lapor Pecandu Narkotika.
Begitu pula tertuang di Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 4 Tahun 2010 berusaha untuk mendayagunakan kembali Pasal 103 Undang-undang Narkotika yang menyatakan bahwa hakim dapat memutus pencandu narkotika untuk menjalani rehabilitasi.
Dalam surat edaran tersebut, menyebutkan lima syarat untuk mendapatkan putusan rehabilitasi yaitu: 1) terdakwa ditangkap dalam kondisi tertangkap tangan; 2) pada saat tertangkap tangan ditemukan barang bukti pemakaian satu hari (terlampir dalam SEMA); 3) surat uji laboratorium positif menggunakan narkotika; 4) surat keterangan dari dokter jiwa/psikiater; dan 5) tidak terbukti terlibat dalam peredaran gelap narkotika.
Selama ini, aparat penegak hukum masih memandang UU Narkotika berorientasi pada pemenjaraan bagi pengguna atau pencandu narkoba, sehingga mereka dianggap seperti penjahat.
Padahal, pada tahun 2014 telah dicanangkan pemerintah sebagai tahun penyelamatan korban penyalahgunaan narkoba melalui rehabilitasi.
Dalam upaya mengubah paradigma pemidanaan pengguna narkoba Kejaksaan Agung, Kepolisian, Kemenkumham, MA, Kemensos, Kemenkes menandatangani Peraturan Bersama Tahun 2014 tentang Rehabilitasi Pecandu Narkotika.
Melalui peraturan itu, jika seseorang ditangkap penyidik Polri atau BNN menggunakan atau memiliki narkotika, maka akan tetap diproses secara hukum dengan dakwaan Pasal 127 UU Narkotika yang putusannya menjatuhkan perintah rehabilitasi. Adapun karena Pasal 127 UU Narkotika ancaman hukumannya di bawah 5 tahun, sehingga tidak perlu ditahan.
Penentuan apakah layak direhabilitasi atau tidak, tetap melalui putusan pengadilan. Hal ini diatur dalam Pasal 127 ayat (3) yang menyatakan bahwa dalam hal penyalahguna dapat dibuktikan atau terbukti sebagai korban penyalahgunaan narkotika. Penyalahguna tersebut wajib menjalani rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial.
Faktor yang secara signifikan mempengaruhi hakim dalam memberikan putusan rehabilitasi adalah surat keterangan medis, surat keterangan kejiwaan dari dokter jiwa atau psikiater dan keberadaan ahli.
Namun, meski masih dalam proses peradilan pidana, baik itu penyidikan, penuntutan, atau pemeriksaan sidang di pengadilan. Tanpa menunggu putusan hakim terlebih dahulu, penyidik, jaksa penuntut umum, atau hakim bisa saja meminta asesmen terhadap tersangka atau terdakwa sebelum ditempatkan di lembaga rehabilitasi.
Berdasarkan undang-undang, negara bertanggung jawab untuk memulihkan para pengguna narkoba melalui rehabilitasi. Sehingga sudah sepatutnya tak boleh ada kendala untuk program rehabilitasi, termasuk mengenai infrastruktur atau fasilitas pemulihan para pecandu narkoba.
Dengan demikian, seharusnya penerapan rehabilitasi pengguna narkoba adalah suatu keharusan kepada setiap pengguna. Sehingga rehabilitasi tidak boleh digantungkan kepada kemampuan bayar dari masing-masing pengguna narkoba.
Masyarakat harus berani bersikap tegas, apabila mendapati ada oknum aparat yang meminta uang jutaan rupiah agar pengguna dapat direhabilitasi. Masyarakat dapat melaporkan oknum tersebut ke lembaga pengawas kepolisian seperti Divisi Propam atau Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas). Apabila yang meminta adalah hakim, maka dilaporkan ke Komisi Yudisial.
Rehabilitasi ini nantinya dapat memulihkan kondisi mental, dan ketergantungan para pecandu narkoba. Rehabilitasi narkoba terdiri dari tiga tahapan. Yakni tahap rehabilitasi medis (detoksifikasi), tahap rehabilitasi sosial atau nonmedis, dan tahap bina lanjut.
Tahap rehabilitasi medis dilakukan di bawah pengawasan dokter. Pengguna akan diperiksa fisik dan mentalnya, termasuk pemeriksaan penyakit infeksi menular seksual, dan memutuskan apakah diperlukan obat-obatan tertentu untuk mengurangi gejala putus obat (sakau).
Beberapa teknik detoksifikasi antara lain, metode cold turkey di mana pasien dikurung pada fase sakau, terapi substitusi atau penggantian di mana kebutuhan pecandu opioid atau heroin diganti dengan jenis obat lain, atau terapi simptomatik di mana pemberian obat disesuaikan dengan keluhan pengguna.
Pada tahap sosial atau nonmedis, pengguna akan menjalani beberapa program. Ini boleh jadi bagian terpenting. Misalnya tiga metode yang sering dipakai untuk tempat rehab yaitu therapy community, terapi 12 Langkah atau pembinaan spiritual (religius).
Pada tahap terakhir yaitu bina lanjut, pengguna akan diberikan kegiatan yang sesuai dengan minat dan bakatnya masing-masing. Misalnya kegiatan kerja atau keterampilan, olahraga, dan kesenian.
Kegiatan kerja dilakukan agar pengguna dapat kembali pada lingkungan sosialnya, menjalankan pola hidup sehat, menjadi lebih produktif dan lebih percaya diri. Seluruh tahapan idealnya dilakukan di bawah pengawasan konselor. Selain itu, tempat rehabilitasi harus mengantongi izin dari Kementerian Kesehatan atau Kementerian Sosial.
Namun yang perlu dipahami, karakter pecandu berbeda-beda, ada yang mudahdown, dan ada yang keras kepala. Apalagi proses melepaskan diri dari narkoba untuk penggunanya tidaklah mudah.
Agar seluruh proses rehabilitasi bisa berhasil, dukungan keluarga dan lingkungan dibutuhkan. Dengan demikian mereka akan terdorong untuk mengikis keinginan kembali menggunakan narkoba.