BANDARLAMPUNG (ANDPOST) - Dewan Pimpinan Daerah Benteng Independen Nusantara (DPD BIN) Provinsi Lampung menyerukan kepada seluruh DPP Partai Politik mengedepankan kajian ilmiah dan objektifitas dalam menentukan bakal calon kepala daerah dan wakilnya pada Pilkada serentak September 2020 mendatang
Pasalnya,pasca diundangkannya PKPU 15 tahun 2019 tentang Tahapan, Program dan Jadwal Penyelenggaraan Pilkada Serentak tahun 2020 hanya segelintir Parpol yang melakukan survei popularitas, akseptabilitas dan elektabilitas balonkada; selebihnya asalan.
Meski sejumlah partai politik (Parpol) di Lampung sudah menyatakan siap menghadapi Pemilihan umum kepala daerah (Pemilukada) serentak tahun 2020. Tapi sikap itu bukan jaminan penjaringan kandidat bakal berlangsung lancar.
Dalam penjaringan Calon kepala daerah (Cakada), Parpol bukan saja disibukkan oleh komunikasi politik antar parpol, tapi pada tahap ini Parpol juga harus melihat sisi individual seorang Cakada.
Menurut Seketaris DPD BIN Provinsi Lampung, Singgih Atmojo, ada tiga hal utama yang mesti dimiliki seorang individu sebelum nanti diajukan sebagai Cakada ke Parpol.
"Apakah dia punya modal sosial, modal politik, dan terakhir modal finansial. Ketiga ini akan diukur saat menjaring seseorang untuk dijadikan Cakada. Ketiga faktor tadi lah yang membuat penjaringan seorang Cakada memakan waktu, baik itu di internal partai, maupun saat dibincangkan dalam format koalisi,"katanya, Sabtu 7 September 2019
"Jadi bukan hanya sebatas mengusung kader, tapi juga memastikan faktor-faktor tadi dimiliki seorang kader apa tidak,"imbuh Singgih Atmojo didampingi fungsionaris DPD BIN Lampung Andhika Sugeng Kristiyanto.
Fungsionaris DPD BIN Lampung, Andhika Sugeng Kristiyanto mengamini apa yang dikatakan oleh Singgih tadi. Andhika menyebut, ketiga faktor tadi bukan hanya penting bagi Parpol yang nota bene sebagai kontestan Pilkada. Tapi juga menjadi pijakan Cakada sendiri jika ketiga faktor itu sebagai alat ukur diri seorang politisi saat mengarungi Pilkada.
"Jadi bukan hanya karena berstatus sebagai kader parpol, kemudian memberanikan diri maju. Atau bukan sebatas orang lama di rantau kemudian memutuskan menawarkan diri untuk dicalonkan. Yang pasti ketiganya merupakan alat ukur diri sebelum berlaga," katanya
Andhika memaparkan, jika seorang politisi memiliki modal finansial namun minim modal sosial, hal ini akan membikin biaya politik membengkak, sebab si politisi harus menggeber sosialisasi ke tengah masyarakat. "Kalo modal sosial kuat, itu belum cukup. Karena aktivitas politik butuh biaya politik," katanya.
Direktur Lembaga Kajian Sosial dan Politik Lampung, Andre Wahyudi, mengatakan ajang Pilkada serentak bukan merupakan ajang coba-coba bagi para pendatang baru.
Untuk itu, kata dia, bagi para pendatang baru harus lebih agresif memperkenalkan diri. Sebab, para pendatang baru tak memiliki satu modal utama yang sudah dipegang para petahana, yaitu popularitas dan elektabilitas.
"Kalau mau imbangi popularitas dan elektabilitas petahana, pendatang baru harus sadar diri, jangan merasa kuat sebelum bertanding," ujarnya, Sabtu (7/9/2019).
Sementara itu, bagi para pendatang baru, sebagus apapun gagasan yang ditawarkan terasa percuma jika tidak sampai pada masyarakat.
Dia menyarankan para pendatang baru lebih aktif bergerak terjun di lapangan dan menampilkan terobosan dalam upaya pengenalan diri serta gagasan yang ditawarkan. Para pendatang baru pun perlu menyesuaikan diri dengan segmen masyarakat yang ditemui.
Menurut dia, para pendatang baru tak perlu terjebak pada dikotomi, termasuk melakukan black campaign, melainkan merangkul semua kalangan.
"Membaur dengan lingkungan sekitar, kalau ketemu anak muda ya pakai gaya anak muda, sesuaikan segmentasi. Kalau ketemu tokoh ya tampil sopan," kata dia.
Selain aktif terjun di lapangan, kata dia, para pendatang baru juga perlu bermain pada tatanan media sosial dan media mainstream atau arus utama sebagai bentuk keterbukaan pada publik.
Serta jangan mudah terbuai hasil survei internal.
Dia menambahkan, hasil survei hanya tolok ukur atau alat sementara untuk melihat persepsi publik, bukan sebagai penentu yang pasti saat pemilihan terjadi. "Jangan lupa media sosial dan media mainstream harus berjalan seiringan dalam menopang gagasan,tambahnya.