Hi.WATONI NOERDIN,SH,MH Ketua Fraksi PDI Perjuangan DPRD Provinsi Lampung |
OPINI - Pada 2016, dana desa diprioritas untuk pembangunan infrastruktur desa, seperti jalan, irigasi, fasilitas air bersih, dan sebagainya, sehingga berpengaruh pada kesejahteraan masyarakat desa karena berdampak pada memberdayakan Sumber Daya Manusia (SDM) dan Sumber Daya Alam (SDA) masing-masing desa.
Direktur Jenderal Pembangunan dan Pemberdayaan Masyarakat Desa Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi, Ahmad Erani Yustika, menyebutkan ada tiga hal pokok yang program prioritas dana desa. Pertama, penggunaan dana desa yang pokok ialah untuk pemberdayaan masyarakat. Artinya, peningkatan kapabilitas manusia harus menjadi prioritas utama. Dana desa wajib dipakai untuk meningkatkan kualitas pendidikan SDM, meningkatkan karakter dan kompetensi untuk bisa menciptakan peluang kesejahteraan lebih baik di masa mendatang, serta menjaga kesehatan warga.
Kedua, dana desa digunakan untuk menginisiasi penciptaan lumbung ekonomi desa, seperti sumber daya sosial, budaya, wisata, sejarah, dan lainnya yang bisa dikonversi menjadi sumber kekuatan ekonomi. Ketiga, pembangunan desa sebaiknya tetap diiringi oleh perbaikan nilai-nilai sosial yang berlaku di daerah. Banyak keberhasilan dan kemajuan pemerintah yang tak diiringi oleh keharmonisan sosial. Untuk itu, nilai-nilai sosial, budaya, dan agama hendaknya tak tergerus oleh akselerasi pembangunan desa.
Sebagai program baru yang digulirkan pemerintah, tentunya dana desa tidak luput dari berbagai permasalahan. Koordinator FITRA, Apung Widadi, menyatakan pihaknya telah melakukan assesment di beberapa desa di Sumatra Utara, Lombok Timur, Jawa Timur dan Jawa Tengah, menemukan paling tidak ada sembilan permasalahan. Pertama, desa, khususnya kepala desa dan perangkatnya, belum siap betul terkait dengan pengelolaan dana desa dan pertanggungjawabannya.
Kedua, karakteristik desa-desa di Indonesia sangat beragam dan komplek. Sehingga ketika formulasi pembagian dana desa disamakan, maka terjadi ketimpangan dan tidak efektif. Ketiga, sebagian besar kabupaten di Indonesia, selaku penyalur dana desa dari pusat ternyata belum membuat aturan pencairan, pengelolaan dan pertanggungjawaban dana desa. Sehingga dana desa rawan diselewengkan dalam tingkat kabupaten.
Keempat, dari sisi alokasi nasional, dana desa tahun 2015 sebesar Rp20,7 triliun sebenarnya belum sesuai dengan besaran konstitusi, yaitu 10 persen dari total dana transfer daerah. Jika dihitung seharusnya dana desa ditambah dana transfer daerah akan berjumlah 110 persen. Dana transfer daerah pada APBN tahun 2015 adalah Rp643,5 triliun, maka seharusnya alokasi dana desa sudah mencapai 10 persen, yaitu Rp64,35 triliun. Dengan dana tersebut, dari 72.944 desa di Indonesia, maka rata-rata perdesa akan mendapatkan alokasi sebesar Rp882,2 juta.
Di sisi lain, alokasi ADD dengan perhitungan 10 persen dari DAU ditambah DBH, yaitu Rp465,3 triliun, maka akan mendapatkan tambahan lagi Rp46,5 triliun. Total, desa akan mendapat alokasi Rp64,35 triliun ditambah Rp46,3 triliun, yaitu Rp110,88 triliun. Sehingga setiap desa dari 72.944 desa seharusnya mendapatkan alokasi mencapai Rp1,52 miliar. Namun yang terjadi, saat ini desa hanya mendapat kurang lebih 30 persen dari total dana desa sesuai amanat konstitusi.
Kelima, dari sisi alokasi daerah, masih terjadi ketimpangan alokasi. Alih-alih merata, yang terjadi justru kesenjangan alokasi antar daerah, hal ini tercermin dari besaran dana desa di setiap antar kabupaten berbeda-beda. Keenam, parahnya, ketimpangan alokasi anggaran transfer daerah kadang dimanfaatkan oleh oknum politisi, pengusaha dan elit yang biasanya disebut “mafia anggaran”. Pengalaman yang ada, “mafia anggaran” banyak muncul dalam mengurus alokasi anggaran antar daerah karena perbedaan alokasi.
Ketujuh, akuntabilitas akan rendah karena rumitnya pertanggungjawaban dari desa ke kabupaten dan rutin 3 bulan sekali. Sangat teknokratis. Kedelapan, potensi disalokasi, belanja birokrasi besar di desa. Sehingga mengancam anggaran pembangunan infratruktur. Seperti postur anggaran APBN dan APBD yang mengalokasi belanja birokrasi hingga 50 persen, APBDes juga dikhawatirkan akan banyak dihabiskan untuk belanja birokrasi.
Kesembilan, dana desa berpotensi diselewengkan saat ini bertepatan dengan Pilkada langsung. Hal ini disebabkan daerah kekurangan dana pelaksanaan Pilkada karena belum teralokasi di APBD. Kemudian, dana desa rawan dipolitisasi oleh calon petahana dalam bentuk distribusi alokasi ke desa yang tidak merata dan diarahkan pada desa basis pendukung calon.
Semua temuan permasalahan tersebut akibat regulasi yang belum baik, terutama terkait mekanisme pengalokasian dan proses penyaluran dari kabupaten ke desa sebagaimana diatur dalam PP No. 22 Tahun2015. Bahkan, World Bank menilai mekanisme distribusi dana desa perlu diperbaiki karena sistem yang sedang berjalan tidak merata dan dapat memicu ketimpangan pendapatan antar penduduk di daerah.
Menurut ahli ekonomi World Bank untuk Indonesia, Ndiame Diop bahwa sumber ketimpangan perolehan manfaat itu adalah rumus 90 persen dana desa yang dibagi merata setiap desa serta hanya 10 persen sisanya yang berdasarkan kriteria demografis dan geografis. Namun populasi penduduk miskin di setiap desa berbeda, sehingga pembagian alokasi hingga 90 persen dari total anggaran dana desa dikhawatirkan perolehan manfaat dari dana desa itu untuk setiap penduduk tidak merata.
Di sinilah, perlu dilakukan perubahan pada sejumlah regulasi, terkait mekanisme pengalokasian dan proses penyaluran dari kabupaten ke desa. Selain deregulasi mekanisme pengalokasian dan proses penyaluran dana desa perlu juga diterbitkan sejumlah regulasi teknis pelaksanaan Undang-undang desa dan semakin aktifnya sosialisasi semua kebijakan yang terkait dengan itu, seperti sosialisasi Undang-Undang, Peraturan Pemerintah, dan Peraturan Menteri, ke semua kades dan perangkat desa yang selama ini masih sangat minim.
Dan yang lebih penting dicatat kita sepakat agar formulasi pengalokasian yang termaktub dalam pasal 11, PP 22/2015 belum memperhatikan aspek keadilan. Sebab alokasi dasar yang dibagi rata kepada desa mengambil proporsi sebesar 90 persen. Sementara alokasi proporsional yang memperhatikan faktor jumlah penduduk, angka kemiskinan, luas wilayah, dan tingkat kesulitan geografis setiap desa hanya 10 persen.
Karena itu, seperti dikatakan Ahmad Erani Yustika, seharusnya pengalokasian dana desa tahun 2016 sebaiknya dengan perbandingan 60 persen alokasi proporsional dan 40 persen alokasi dasar untuk dibagi rata kepada seluruh desa, sehingga akan lebih memacu percepatan pembangunan dan pemberdayaan masyarakat desa.
Kades Tak Perlu Takut Menggunakan Dana Desa
MEMANG kita menyadari bahwa masih terjadi ketimpangan dan penyalahgunaan dalam alokasi dana desa. Guna meminimalisasi penyeleweangan ditingkat desa, diperlukan mekanisme kontrol dari masyarakat untuk mengawasi penggunaan dana desa ini, agar dana tersebut sesuai dengan peruntukannya meningkatkan pembangunan di desa. Pemerintahan desa dituntut agar lebih akuntabel, yang didukung dengan sistem pengawasan dan keseimbangan antara Pemerintah Desa dan lembaga desa, terutama Badan Permusyawaratan Desa (BPD), dalam kedudukannya mempunyai fungsi penting dalam menyiapkan kebijakan Pemerintahan Desa bersama kepala desa.
Adanya kewenangan tambahan bagi BPD untuk melakukan pengawasan terhadap kinerja kepala desa, harus dijalankan sungguh-sungguh sebagai representasi dari masyarakat desa, khususnya dalam hal penggunaan keuangan desa. Adanya mekanisme “check and balance” ini akan meminimalisasi penyalahgunaan keuangan desa. Dalam pengalokasian dana desa tersebut diperlukan fungsi BPD sebagai pengawas agar dana tersebut tersalurkan untuk kepentingan pembangunan di desa.
Pengawasan yang dijalankan oleh BPD terhadap pemakaian anggaran desa dilakukan dengan melihat rencana awal program dengan realisasi pelaksanaannya. Kesesuaian antara rencana program dengan realisasi program dan pelaksanaannya serta besarnya dana yang digunakan dalam pembiayaannya adalah ukuran yang dijadikan patokan BPD dalam melakukan pengawasan. Selama pelaksanaan program pemerintah dan pemakaian dana desa sesuai dengan rencana, maka BPD mengangapnya tidak menjadi masalah.
Di sisi lain, transparansi penggunaan dana desa harus benar-benar dijalankan. Dengan adanya UU No. 14 tahun 2008, tentang Keterbukaan Informasi Publik, setiap orang berhak untuk meminta informasi terkait penggunaan anggaran, salah satunya penggunaan dana desa. Dengan demikian penggunaan dana desa bisa diawasi oleh masyarakat, agar dana desa tersebut benar-benar digunakan untuk meningkatkan pelayanan publik di desa. Dan bila memungkinkan perlu juga dibuat posko-posko pengaduan di setiap desa. Dengan adanya posko pengaduan tersebut, masyarakat bisa ikut mengawasi dana desa. Jika ada penyimpangan bisa langsung melaporkannya melalui posko tersebut
Pemerintah juga perlu melakukan pembinaan serta pengawasan jalannya pemerintahan di desa melaui pendelegasian pembinaan dan pengawasannya kepada pemerintah provinsi atau pemerintah kabupaten/kota. Pembinaan dan pengawasan tersebut bisa dilakukan dengan cara melakukan pengawasan dalam penetapan anggaran, evaluasi anggaran dan pertanggungjawaban anggaran, melakukan pendampingan dalam perencanaan, pelaksanaan, dan pemantauan pembangunan desa, melakukan peningkatan kapasitas kepala desa, perangkat desa, dan BPD serta memberikan sanksi atas penyimpangan yang dilakukan oleh Kepala Desa. Karena dana yang dikelola begitu besar, maka penting bagi kepala desa untuk membekali diri dengan keterampilan mengelola keuangan, membuat pembukuan yang baik, akuntabel dan transparan.
Meskipun penggunaan anggaran dana desa mendapat kontrol yang ketat dari masyarakat tidak semestinya kepala desa (kades) dan perangkat desa merasa takut menggunakan dana desa. Sebab aparat penegak hukum (Kepolisian dan Kejaksaan) tidak akan melakukan kriminalisasi terhadap kades yang memakai dana desa bila dana desa itu dipakai dan disalurkan dengan benar.
Akhirnya, kita semua berharap, kucuran dana desa tahun 2017 ini mampu dimanfaatkan sebaik-baiknya guna meningkatkan kesejahteraan masyarakat desa di seluruh tanah air, khususnya masyarakat pedesaan di Sumsel. Seperti lirik lagu Iwan Fals, “Desa harus jadi kekuatan ekonomi, agar warganya tak hijrah ke kota”. Mudah-mudahan (GIH)